Oleh: Cecep Supriadi
Akhir-akhir ini penggunaan akal dalam memahami Tuhan semakin tidak
sesuai dengan porsinya. Penggunaan akan secara berlebihan dapat menyebabkan
seseorang tidak beragama / atheis. Salah satunya, Friedrich Wilhelm Nietzsche,
dia mencari-cari Tuhan itu, memikirkannya, mengakalinya, sehingga sampailah
pada kesimpulan bahwa Tuhan telah mati dan dialah yang telah membunuh Tuhan[1].
Namun, adapula yang berhasil meyakini keberadaan Tuhan. Diantaranya, Michael
David Shapiro memeluk Islam setelah melakukan kajian soal agama-agama. Awalnya
dia penganut ateis. Tapi ia berhasil membuktikan bahwa agama tidak sekadar
mematuhi ajaran dan segala perintah-perintah yang suci[2].
Jika diperhatikan, mereka yang berhasil menemukan Tuhan, bukan murni dari
akalnya sendiri, tetapi dibantu dari informasi yang didapatkan dari wahyu. Oleh
karenanya, akal tidak bisa dilepas begitu saja, tanpa bimbingan wahyu.
Meski demikian, akal memiliki peranan penting dalam memahami dan
meyakini keberadaan Tuhan. Ini didasari bahwa akal adalah kekuatan otak untuk
mempertimbangkan sesuatu yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia sebagai
alat berfikir[3].
Selain itu, menurut Syed Naquib Al-Attas dalam Islam dan Filsafat Sains, “akal
adalah suatu substansi ruhaniah yang melekat dalam organ ruhaniah yang kita
sebut hati atau kalbu“[4].
Oleh sebab itu, fungsi akal untuk mengenal Tuhan tidak bisa dinafikan. Quraish
Syihab menjelaskan dalam bukunya Logika Agama:
“Aqal adalah potensi manusiawi yang berfungsi sebagai tali pengikat
yang menghalanginya terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Akal semacam itulah
yang menjadi tujuan dan yang harus diusahakan untuk meraihnya, karena yang
demikian itulah yang menyelamatkan seseorang. Tanpa akal, siapapun akan
terjerumus walau memiliki pengetahuan teoritis yang sangat dalam”[5].
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa akal memiliki beberapa
fungsi. Pertama, dapat mengetahui Tuhan yang abstrak. Tuhan salah satu
yang ghaib, tidak nampak dilihat. Akal melakukan pembacaan terhadap tanda-tanda
keberadaan Tuhan, baik melalui penciptaan maupun wahyu. Kedua, dapat
melihat fenomena sekitar dan memberikan kesimpulan dari apa yang dilihat. Fenomena
alam yang terjadi bisa dijadikan bukti atas eksistensi Tuhan dalam kehidupan
ini. Ketiga, dapat mengetahui sifat-sifat Tuhan. Akal mampu menerima
ke-Maha Kuasaan Tuhan terhadap alam semesta. Ke-Maha Pengasih dan Penyayang
terhadap makhluk ciptaan-Nya[6].
Namun, akalpun memiliki keterbatasan dalam berfikir. Akal tidak
mampu memasuki wilayah pemikiran di luar kemampuan masing-masing[7].
Akal tidak mampu mengetahui hal-hal ghaib, seperti adanya surga dan neraka,
adanya hari akhir, dan adanya kebangkitan setelah kematian[8].
Ini artinya, akal tidak mampu memahami Tuhan secara utuh[9].
Akal tidak tahu cara tepatnya untuk menyatakan terima kasih kepada Tuhan[10].
Namun demikian, Franz Magnis Suseno dalam Menalar Tuhan menyatakan bahwa
“percaya pada eksistensi Tuhan sangat masuk akal karena banyak kenyataan alam
luar maupun alam batin dapat dimengerti dengan jauh lebih apabila kita menerima
adanya Tuhan”[11].
Al-Qur’an memberikan kedudukan yang tinggi terhadap akal. Yusuf
Qardhawi mengungkapkan bahwa materi akal dalam al-Qur’an terulang sebanyak 49
kali[12].
Al-Qur’an juga memerintahkan akal untuk memahami ayat-ayat qauliyah dan
ayat-ayat kauniyah. Bahkan, Para ulama menggunakan akal sebagai alat melakukan
ijtihad, maka dapat dikatakan bahwa sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an, Hadis,
dan Akal[13].
Dengan akal pula, kita bisa menjalankan kewajiban syariat dengan baik dan benar
berdasarkan dari wahyu[14].
Adapun kata wahyu yang menurut bahasa berarti suara, bisikan,
isyarat, yang merupakan pemberitahuan tersembunyi, rahasia, dan selintas kilat.
Tetapi secara syar’i, wahyu didefinisikan sebagai perkataan Allah yang
disampaikan kepada rasul-Nya. Dalam Islam, wahyu Allah yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad saw terkumpul dalam al-Qur’an[15].
Jika dikaitkan dengan akal, Wahyu dapat menjadi petunjuk dan
penyempurna akal yang memiliki beberapa fungsi. Pertama, akal mampu
membuktikan keberadaan Tuhan melalui tanda-tanda penciptaan. Wahyu memperkuat
apa yang telah diketahui akal. Kedua, Akal mengetahui eksistensi Tuhan,
beserta anugerah pemberian-Nya, namun akal tidak mengetahui bagaimana cara
mengucapkan terima kasih pada-Nya. Wahyu menerangkan apa yang belum diketahui
akal. Ketiga, akal mampu mengungkap ilmu pengetahuan dan
mengembangkannya sehingga dapat memberikan peradaban dalam kehidupan. Wahyu
menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal. Keempat, akal terkadang melampaui
batas kewajaran dalam berfikir. Maka wahyu mengingatkan manusia akan kelalaian
mereka. Kelima, akal senantiasa terus berusaha mengenal Tuhan. Wahyu memperpendek
jalan mengetahui Tuhan[16].
Seandainya wahyu tidak ada maka manusia akan bebas berbuat sesukanya. Dan untuk
itulah al-Qur’an diturunkan.
Sejarah mencatat bahwa semua aliran teologi dalam Islam menggunakan
akal untuk memahami eksistensi Tuhan. Mu’tazilah mengakui kemampuan akal dalam
memahami Tuhan bahkan sebelum wahyu diturunkan[17].
Demikinan juga, Maturidiah Samarkand, Maturidiah Bukhara memberikan daya besar
terhadap akal. Pun demikian dengan aliran Asy’ariah, walaupun dengan porsi yang
kecil. Selanjutnya, Tuhan memperkenalkan diri-Nya melalui wahyu yang diturunkan
kepada para nabi. Yang menjadi tuntunan dalam kehidupan, menjelaskan hal yang
baik dan buruk, dan mengetahui kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan[18].
Dalam Islam, wahyu itu terkumpul dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an
merupakan wahyu yang sangat rasional. Orang yang membaca dan mempelajarinya
akan menangkap pesan yang sangat masuk akal. Jack Pirck dan Maxim Rodinson
adalah dua tokoh orientalis yang mampu menangkap rasionalisme al-Qur’an[19].
Materi yang terkandung dalam al-Qur’an menjadi pedoman sepanjang zaman. Bukan
hanya untuk umat Islam namun juga untuk seluruh manusia[20].
Dari uraian singkat diatas dapat disimpulkan bahwa akal memiliki
peranan penting dalam memahami eksistensi Tuhan. Akal mampu mengungkap rahasia
eksistensi Tuhan. Namun, akal memiliki keterbatasan. Untuk itulah wahyu
diturunkan. Wahyu memiliki peran menyempurnakan akal dalam memahami Tuhan dan
memberikan petunjuk tata cara ibadah dan kewajiban-kewajiban yang harus
dilaksanakan. Oleh sebab itu, keduanya tidak dapat dipisahkan dan dinafikan
keberadaannya. Serta perlu disesuaikan dengan porsinya. Wallahu
a’lam.
[1] Lihat... Nietzsche
and The Gods, New York University Press. Hal.185.
[2] Lihat...
http://www.onislam.net/english/reading-islam/my-journey-to-islam/contemporary-stories/420861-from-judaism-to-islam.html
diakses pada 21/10/2014. 14.53
[3] Dyayad. Kamus
Lengkap Islamologi (Yogyakarta: Qiya) Cet. Pertama. 2009. Hal 35
[4] Naquib
Al-Attas, Syed Muhammad. Islam dan Filsafat Sains (Bandung: Mizan) Maret
1995 Hal 37
[5] Syihab,
Quraish. Logika Agama (Jakarta: Lentera Hati) Cet. Ketiga. 2006. Hal 88
[6] Kiswati,
Tsuroya. Al-Juwaini: Peletak Dasar Rasional Dalam Islam (Jakarta:
Erlangga) cet 3. 2007. Hal. 168
[7] Mutawalli
al-Sya’rawi, Muhammad. Meragukan Eksistensi Tuhan (Jakarta: Media Alo
Indonesia) Cet.Pertama. 2005. Hal 81
[8] Kiswati,
Tsuroya. Al-Juwaini: Peletak Dasar Rasional Dalam Islam (Jakarta:
Erlangga) Cet.Ketiga. 2007 Hal. 164
[9] Lihat ...
Kant, Tuhan tidak menjadi objek pengetahuan manusia, jadi nalar tidak dapat
mengetahui apa pun tentangnya.... dalam Suseno, Franz Magnis. Menalar Tuhan
(Yogyakarta: Kanisius) Cet.Kedelapan. 2006. Hal. 19
[10] Nasution,
Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta:
UI Press) Cet Kelima. 2010. Hal 97
[11] Suseno, Franz
Magnis. Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius) Cet Kedelapan. 2006. Hal.
23
[12] Qardhawi,
Yusuf. Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta:
Gema Insani Press) Cet. Kelima 2001. Hal.19
[13] Muzani,
Saiful. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution
(Bandung: Mizan) Cet. Keempat. 1996. Hal 56-60
[14] Hanafi, Hasan.
Dari Akidah ke Revolusi: Sikap kita terhadap Tradisi Lama.(Jakarta:
Paramadina) 2003. Hal 156
[15] Haq, Hamka. Al-Syathibi: Aspek Teologis Konsep
Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat. (Jakarta: Erlangga). Cet Keenam. 2009. Hal
43
[16] Ibid.
99-101
[17] Haq, Hamka. Al-Syathibi: Aspek Teologis Konsep
Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat. (Jakarta: Erlangga). Cet Keenam. 2009.
Hal 43
[18] Nasution,
Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta:
UI Press) Cet Kelima. 2010. Hal.90-101
[19] Qardhawi,
Yusuf. Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta:
Gema Insani Press) Cet. Kelima 2001. Hal.77
[20] Lihat QS Al-Baqarah
Ayat 185
Bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)
Posting Komentar