Oleh: Cecep Supriadi
Seks tidak selalu mesti diartikan hubungan khusus suami istri.
Pengetahuan tentang jati diri anak bahwa dia laki-laki atau perempuan, batasan
aurat, cara berpakaian, dan hak-hak serta kewajibannya pun bisa menjadi
"Materi Pendidikan Seks tingkat dasar". Pembelajaran tentang hubungan
antara laki-laki dan perempuan sampai kecintaannya pada lawan jenis perlu
diarahkan, dibimbing, bahkan menjadi "Materi Pendidikan Seks Tingkat
Menengah".
Memberikan pakaian anak saat lahir sesuai dengan jenis kelaminnya,
memberikan nama sesuai dengan haknya, mensikapi setiap tindakannya, memisahkan
tempat tidur antara laki-laki dan perempuan, mengajarkan berjilbab (untuk perempuan)
sejak dini, mengajarkan cara bertutur kata, berakhlak pada sesama jenis, lain
jenis, orang tua dan orang yang lebih dewasa. Ini semua termasuk materi-materi
pendidikan seks.
Penjelasan
yang tidak paripurna dalam pendidikan seks untuk anak, menyebabkan anak kurang
memahami kebutuhannya sesuai dengan jenis kelaminnya. Seorang anak berhak mendapatkan
pendidikan yang terbaik dari kedua orang tuanya. Tugas pendidikan tidak hanya
tugas ibu atau ayah saja. Namun keduanya perlu berkomunikasi merumuskan pola
pendidikan keluarga. Anak berhak diajari tentang sikap jujur, amanah, berani,
kesatria, pantang menyerah, sabar, penyayang, lembut hati, sopan, dan baik
dalam bertutur. Namun, beda jenis kelamin, beda pula karakteristik dan akhlak
yang perlu ditanamkan pada diri seorang anak.
Anak
laki-laki umpamanya, dia lebih membutuhkan sosok superhero dalam kehidupannya
yang bisa dia jadikan panutan bagi kehidupannya kelak. Sifat berani,
bertanggungjawab, gagah, kestria, jujur, tidak mudah putus asa dan pantang
menyerah, bekerja keras dan sungguh-sungguh, serta menjadi pribadi yang
romantis bisa dilatih sedini mungkin, dan sang ayahlah yang paling tepat
mengemban tugas ini. Maka, sang ayah perlu menyediakan banyak waktu dalam hal
ini. Paling tidak 6-10 jam dalam sehari.
Sedangkan
anak perempuan, dia punya naluri keibuan. Memiliki rasa kasih sayang yang dalam,
lebih mengedepankan aspek perasaan daripada logika. Lebih ingin disayangi,
dikasihi, dilindungi, dan diperhatikan. Pembelajaran tentang akhlak, tutur
kata, tingkah laku, sikap sabar, ketaatan, tidak mudah mengeluh dan penyayang
terhadap yang lainnya. Hal ini bisa dia dapatkan dari ibu yang telah
melahirkannya. menyusuinya, menyapihnya, dan membesarkannya dengan penuh cinta.
Dalam
pendidikan keluarga, tidak ada dikotomi pemisahan tugas ayah dan ibu dalam
menentukan anak laki-laki atau anak perempuan. Keduanya perlu dididik
bersamaan. Sehingga kedua orang tua ini
lah yang menentukan sikap dan sifat, serta akhlak anak kelak. Termasuk naluri
biologisnya dan bagaimana ia menyikapinya. Jika seorang anak sudah mengetahui
jati dirinya (seksnya) maka tidak akan ada masalah dengan seksualnya.
Namun,
dalam beberapa tahun kebelakang, terdapat sekelompok aktivis akademisi yang
menyuarakan legalisasi pernikahan sejenis. Pernikahan antara laki-laki dengan
laki-laki dan perempuan dengan perempuan lainnya. Usaha legalisasi ini
berdasarkan asumsi bahwa menikah itu adalah hak asasi manusia (HAM) dengan
siapa saja, kapan saja, dimana saja, dan bagaimana saja seseorang menikah.
Tanpa ada campur tangan atau intervensi dari siapapun. Maka, menurut mereka
tidak ada larangan menikahi sejenis, bahkan perlu didukung keberadaannya. Dalam
usaha ini, mereka menggali ayat-ayat yang berkenaan dengan pernikahan, dan
menafsikan ayat-ayat tersebut sesuai dengan kehendak mereka.
Realita
semacam ini yang sejatinya menyimpang bahkan keluar dari fitrah sebagai seorang
manusia. Dan Islam sangat tegas terhadap penyimpangan seksual ini. Usaha-usaha
yang dibangun untuk melegalkan akktivitas ini terus disuarakan, bahkan
dilakukan oleh banyak aktivis muslim sendiri. Tidak tanggung, gerakan aktivis
ini didukung juga dimotori oleh para Doktor dan Profesor dalam kajian Islam.Penyimpangan
seksual bukan terbentuk secara tiba-tiba langsung jadi. Namun, mengalami proses
yang cukup panjang. Lingkungan, teman bergaul, buku bacaan, dan pendidikan
sangat dominan dalam menciptakan penyimpakan ini. Untuk itu diperlukan solusi
utama dalam mencegah hal ini adalah dengan memperbaiki pola pendidikan.
Terutama pendidikan dalam keluarga. Pendidikan keluarga menjadi benteng dan
pondasi membangun sikap dan mental. Termasuk juga mampu menghindari
penyimpangan seksual. Maka, pendidikan seks sedari kecil perlu ditanamkan oleh
keluarga pada diri seorang anak. Sehingga seorang anak mampu mengenali dirinya,
jenis kelaminnya, kebutuhannya, sampai pada pernikahannya. Wallahu A’lam.
Posting Komentar