Oleh : Cecep Supriadi
Islam secara etimologi adalah ketundukan dan ketaatan. Secara terminologi adalah melaksanakan setiap apa yang dibawa oleh nabi Muhammad saw[1]. Islam datang dengan ajaran yang lengkap dan sempurna[2]. Dibangun dengan pondasi keyakinan dan kesaksian terhadap eksistensi Allah swt dan kebenaran terhadap risalah yang dibawa rasul-Nya. Ditegakkan dengan tiang shalat yang kuat lagi kokoh. Dengan dinding zakat sebagai pembersihan diri dan harta, serta bentuk kepedulian terhadap kesulitan sesama. Diatapi dengan puasa sebagai bentuk latihan kesabaran, ketawakkalan, dan kesyukuran. Dipagari dengan ibadah haji sebagai bentuk penjagaan diri, latihan kekuatan fisik, dan yang terpenting adalah penyucian diri di tanah yang suci.[3] Dan semua itu telah menjadi bagian dari syariat Islam.
Sedangkan makna syariat secara
etimologi adalah jalan, tempat mengalirnya air.[4]
Secara terminologi adalah apa yang telah ditetapkan oleh Allah swt seperti
shalat, zakat, nikah dan lainnya[5].
Setiap nabi memiliki syariat masing-masing untuk umat tertentu. Umat nabi Nuh
memiliki syariat. Umat nabi Musa memiliki syariat yang di bawa oleh nabi Musa
dengan kitab Tauratnya. Umat nabi Isa memiliki syariat dalam Injil.[6]
Inilah yang sering dikatakan sebagai syar’u man qoblana.[7]
Pun demikian dengan umat Islam yang memiliki syariat yang dibawa oleh nabi
Muhammad saw termaktub dalam al-Qur’an.
Islam telah memiliki syariat yang
lengkap dengan tujuan kemaslahatan umatnya. Kemaslahatan agama menjadi
prioritas utama. Yang meliputi akidah, ibadah, hukum-hukum, aturan-aturan yang
telah disyariatkan untuk mengatur hubungan manusia dengan tuhannya dan hubungan
manusia dengan yang lainnya. Kemaslahatan jiwa menjadi prioritas selanjutnya.
Pernikahan dan perkawinan merupakan kebutuhan setiap orang hidup berdampingan
bersama pasangan selain memenuhi kebutuhan biologis, juga dapat mempertahankan
keberlangsungan generasi selanjutnya. Kebutuhan makanan, minuman, pakaian dan
tempat tinggal tidak luput dari perhatian Islam. Pengaharaman terhadap yang
hal-hal menimbulkan kesusahan, mencelakai diri, dan merugikan diri sendiri.
Selanjutnya, kemaslahatan dengan menjaga
aqal. Pengaharaman terhadap khamar dan setiap yang memabukkan bukan tanpa
dasar. Khamr dan sejenisnya memiliki pengaruh yang sangat buruk terhadap aqal.
Kemaslahatan menjaga keturunan dengan mengharamkan hal-hal yang mendekati zina.
Dan mempertegas hukuman bagi pezina serta melarangan orang-orang mukmin untuk
menikahi para pezina. Kemaslahatan terhadap harta. Perintah bekerja dan
berusaha mendapatkan rezeki yang halal dengan berbagai aktivitas muamalah. Baik
itu dengan berdagang, berbisnis, maupun bekerja sebagai karyawan, buruh, guru,
dan lain sebagainya. Mengharamkan bekerja dengan cara yang dilarang mencuri,
khianat, mengambil hak orang lain dengan cara batil, korupsi, riba dan
lain-lain.[8]
Atas dasar kemaslahatan inilah Islam
memberikan arahan kehidupan berupa syariat. Semua syariat ini menjadi aturan
baku dan pedoman bagi umat Islam, serta berlaku sampai akhir zaman.
[1] Muhammad
Muhyiddin Abdul Hamid. Ad-Durus Al-Fiqhiyyah ‘alam Madzhabi Sadah
Syafi’iyyah. (Kairo: Istiqamah) Cet. Pertama. 1426 H. Hal.19
[2] QS. Al-Maidah
Ayat 3
[3] HR.
Bukhari No. 7. Hadis Shahih.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ
الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Dari Ibnu Umar berkata:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Islam dibangun diatas
lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya
Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa
Ramadlan".
[4] Al-Qomus
Al-Muhith hal 854
[5] Ibn
Mandzur, Lisanul Arob. Juz 10 Hal 40
[6] QS.
Asy-Syura ayat 13
[7] Syar’u
man qoblana adalah hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah melalui lisan para
nabi terdahulu untuk umat sebelum Islam. Lihat Ushul Fiqh. Muqarrar Li
Thullab KMI (Darussalam Press: Ponorogo, tt) Hal. 78
[8] Abdul
Wahab Khalaf. Ilmu Ushul Fiqh. (Kairo: Darur-Rasyid, 2008) . Hal.186
Posting Komentar