Oleh: Cecep Supriadi
Dalam sebuah pembelajaran Fiqih di Pondok
Pesantren pada tahun 2007, guru kamI bercerita bahwa, guru beliau saat mondok
di Serang berhasil mendapatkan kesempatan mendapatkan nikmatnya Lailatu-l-Qodr.
Beliau mengungkapkan bahwa gurunya melihat langit terbelah memancarkan sinar
yang begitu terang dan indah. Angin seketika berhenti menyapu dedaunan.
Suara-suara khas hewan malam seketika berhenti. Saat itu malam begitu hening,
bahkan gemericik air sungaipun tidak terdengar.
Awalnya kami sedikit heran, takjub, bahkan
hampir tidak percaya sampai kami menemukan sebuah hadis dari Ubay bin Ka’ab: “Malam
itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke dua puluh tujuh (dari bulan
Ramadlan). Dan tanda-tandanya ialah pada pagi harinya matahari terbit berwarna
putih tanpamemancarkan sinar ke segala penjuru.” (HR. Muslim no. 762).
Dan dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu
panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu
cerah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi dan Al Baihaqi dalam
Syu’abul Iman, lihat Jaami’ul Ahadits 18: 361. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahihul Jaami’ no. 5475.)
Mendengar cerita guru kami tersebut, kamipun
ikut berusaha memburu malam yang lebih baik dari seribu bulan tersebut. Dengan
mengikuti setiap arahan dan petunjuk serta tata cara dalam melaksakanan ibadah
ketika malam tersebut. Meski usaha tersebut sudah kami kerjakan semaksimal
mungkin, namun malam yang indah dengan langit terbelah dan pancaran cahaya itu
belum kami temukan sampai saat ini, sebagaimana yang diceritakn guru kami
tersebut.
Membicarakan malam Lailatu-l-Qodar
selalu menjadi topik menarik. Para kiayi, ustadz dan dai-dai selalu mengangkat
tema tersebut, terutama menjelang sepuluh hari terakhir Ramadhan. Atas motivasi
dan informasi lailatu-l-qodar itulah sebagian umat Islam tertarik untuk
ikut meramaikan perburuan dengan memperbaiki kualitas ibadah dan memperbanyak i’tikaf,
berdiam diri di masjid, mengkhususkan dan menyendiri beribadah kepada Allah
swt.
Pengertian Lailatul Qodr
Lailatu-l-Qodr terbentuk dari dua kata lailah dan qodr.
Lailah (malam) dimulai dari terbenamnya matahari sampai terbit fajar. Sedangkan
al-Qodr memiliki arti al-syaraf (mulia), al-waqar
(agung), al-hukmu (hukum), al-qadha
(ketetapan), dan al-tadhyiq (menyempitkan).[1]
Ibn Qudamah mendefinisikan lailatu-l-qodar
adalah malam yang memiliki kemuliaan, keberkahan, keagungan, dan keutamaan. Pada
malam itu juga dikatakan malam ditetapkannya kebaikan, musibah, rizki dan
keberkahan.[2]
Menurut Quraish Shihab, kata Qadar sesuai dengan
penggunaannya dalam ayat-ayat Al Qur'an dapat memiliki tiga arti yakni[3]:
1. Penetapan dan pengaturan sehingga Lailatul-Qadar dipahami sebagai malam
penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Penggunaan Qadar sebagai
ketetapan dapat dijumpai pada surat Ad-Dukhan ayat
3-5 : Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam,
dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan
semua urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami
2. Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia
karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran. Penggunaan Qadar yang merujuk
pada kemuliaan dapat dijumpai pada surat
Al-An'am (6): 91 yang berbicara tentang kaum musyrik: Mereka
itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka
berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat
3. Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang
turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr.
Penggunaan Qadar untuk melambangkan kesempitan dapat dijumpai pada surat Ar-Ra'd ayat
26: Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi
yang dikehendaki-Nya)
Keutamaan Lailatu-l-Qodr
Allah swt menjelaskan satu malam yang teramat
istimewa di bulan Ramadhan. Di malam tersebut al-Quran diturunkan. Allah swt
menyatakan bahwa malam tersebut lebih baik dari seribu bulan. Yang pada malam
tersebut pula para Malaikat turun dengan izin-Nya sampai terbitnya fajar dengan
maksud untuk memuliakan turunnya al-Qur’an. Berita ini termuat dalam al-Qur’an secara
khusus dalam surat al-Qodr.
Dinamakan lailatu-l-Qodar memiliki tujuan
untuk mengagungkan dan memuliakan malam tersebut.[4] Faktor
yang menyebabkan malam tersebut mulia adalah diturunkannya al-Qur’an dari lauh
mahfudz ke langit dunia. Kemuadian melalui perantara Jibril diturunkan kembali
secara berangsur-angsur selama 23 tahun, sebagaimana yang diriwayatkan Ibn
Abbas “Allah swt menurunkan al-Qur’an sekaligus dari Lauh Mahfudz ke bait
al-‘izzah di langit dunia, kemudian menurunkan secara berangsur-angsur sesuai
kondisi selama 23 tahun kepada Rasulullah”.[5]
Ali Ash-Shabuni dalam tafsirnya Shafwatu Tafâsir
menjelaskan tiga kemuliaan Lailatu-l-Qodar. Pertama, semua ibadah yang
dilakukan hamba Allah pada malam tersebut lebih baik dari ibadah yang dilakukan
selama seribu bulan. Kedua, para malaikat turun ke bumi termasuk juga
Jibril pada malam tersebut atas kehendak Allah swt. Dan ketiga, ada
kedamaian dan keselamatan sejak terbenamnya matahari -waktu maghrib- sampai
terbit fajar pada malam tersebut. Saat itu para malaikat memberikan kedamaian
seraya berdoa untuk segenap kaum mukmin. Pada malam itu Allah menghendaki
kebaikan dan keselamatan untuk semua manusia.[6]
Amalan saat lailatul qodr
Para ulama menjelaskan semua amal shaleh yang
dikerjakan pada malam lailatul qodr, lebih baik dari beramal seribu bulan yang
dikerjakan bukan pada malam tersebut. Hal ini berdasarkan pada sebuah riwayat, Rasulullah
menceritakan tentang seorang ahli ibadh berpakaian perang yang telah berjuang
di jalan Allah saw selama seribu bulan (sekitar 83-84 tahun). Rasulullah
mendambakan umatnya mendapatkan hal yang sama seraya berdoa kepada Allah swt “Ya
Rabb engkau telah menciptakan umur umatku lebih pendek dari umat terdahulu
sehingga lebih sedikit amalannya”. Maka Allah swt memberikan kemuliaan lailatu-l-qodar
seraya berfirman “Lailatul qodar lebih baik bagimu dan umatmu dari seribu
bulan, maha hendaklah berjuang dimalan tersebut”.[7]
Berdasarkan riwayat tersebut serta informasi
kemuliaan lailatul-qodr, Rasulullah saw menugaskan umatnya untuk mencari
kemuliaan malam tersebut. Dalam Shahih Bukhari no. 1878: Telah menceritakan
kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Isma'il bin
Ja'far telah menceritakan kepada kami Abu Suhail dari bapaknya dari 'Aisyah
radliallahu 'anha bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Carilah Lailatul Qadar pada malam yang ganjil dalam sepuluh malam yang
akhir dari Ramadhan". Dalam hadis yang lain dari Abu Hurairah berkata,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa
menegakkan lailatul qodar karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu" (HR. Bukhari no. 34)
Banyak hadis-hadis yang semakna yang diriwayatkan
dan tertulis di dalam kitab-kitab hadis muktamad. Hal ini menunjukan agar malam
lailatul-qodr tidak dilewatkan begitu saja. Bahkan saking mulianya, Rasulullah
Saw semakin giat berburu lailatu-l-qodar.[8]
Amalan yang dilakukan nabi Muhammad saw saat
berburu lailatu-l-qodar adalah dengan beri’tikaf di masjid, terutama saat
sepulu hari terakhir Ramadhan.
I’tikaf
Sebagian
besar umat Islam memburu lailatul qodar dengan beri’tikaf di masjid sebagaimana
dicontohkan oleh nabi Muhammad saw, berdasrkan apa yang dinarasikan oleh Isma'il
bin 'Abdullah, telah menceritakan kepada saya Ibnu Wahab dari Yunus bahwa Nafi'
mengabarkannya dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhua berkata: "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari
Ramadhan". (Shahih Bukhari 1885)
I’tikaf
secara etimologi iftial, menyibukan diri dengan sesuatu. Dalam pengertian yang
lain, i’tikaf juga berarti mengasingkan diri dari pekerjaan biasa. Sedangkan pengertian
i’tikaf secara terminologi adalah berdiam dan menetap di dalam masjid dengan
niat.[9]
Hikmah i’tikaf adalah membersihkan diri orang
yang beri’tikaf secara menyeluruh dengan beribadah kepd Allah, melepaskan diri
sejenak dari kesibukan dunia yang menjadi penghalang kedekan seorang hamba
dengan Rabbnya.
Jumhur ulama sepakat bahwa i’tikaf merupakan
bentuk ibadah sunnah. Para ulama hanya berbeda pendapat dalam hal apakah hanya
sebatas sunnah, mandub, atau justru sunnah muakkadah. Para ulama hanafiyah
menilai i’tikaf adalah ibadah sunnah muakkadah pada sepuluh akhir bulan
Ramadhan, dan mustahab dilakukan selain itu. Adapaun yang masyhur dalam madzhab
Maliki adalah ibadah mandub muakkad, bukan ibadah sunnah.
Sedangkan para ulama Syafi’iyyah berpendapat
bahwa i’tikaf merupakan ibadah sunnah muakkadah di semua waktu, lebih
ditekankan lagi pada sepuluh akhir Ramadhan. Para ulama Hanabilah menilai hanya
sebatas sunnah di setiap waktu, lebih ditekankan saat bulan Ramadhan, dan lebih
ditekankan lagi pada sepuluh akhir Ramadhan.[10]
Adapun rukun i’tikaf yang disepakati para
ulama ada empat. Pertama, seorang mu’takif dengan syarat Islam, berakal,
mumayyiz, suci dari haidh, nifas, dan janabah. Kedua, niat beri’tikaf.
Niat nmerupakan rukun i’tikaf sebagaimana ibadah yang lainnya. Ketiga, waktu i’tikaf. Dan keempat,
menetap di masjid. I’tikaf tidak dapat dilakukan selain di dalam masjid.[11]
Hal-hal yang dapat membatalkan i’tikaf
diantaranya jima’, keluar dari masjid tanpa keperluan, gila (hilang kesadaran),
riddah, mabuk, dan haidh dan nifas. Sedangkan hal-hal yang diperbolehkan saat
beri’tikaf adalah makan, minum, tidur, belakukan berbagai macam kegiatan,
berdiam, berbicara (diskusi), dan berias.
Saat beri’tikaf, seorang mu’takif dapat
mengisinya dengan berdzikir, membaca al-Qur’an, shalat-shalat sunnah,
berdikusi, membaca buku, dan berdoa masyru terutama doa yang diajarkan nabi saw
dalam sebuah hadis dari Aisyah berkata; "Wahai Nabi Allah! Bagaimana
menurutmu jika saya berada pada malam lailatul Qodar, apa yang harus saya
ucapkan?" Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam menjawab: "Hendaklah
kamu mengucapkan: Allaahumma innaka afuwwun tuhibbul `afwa fa`fu `anni
(ya Allah Engkau adalah Maha Pengampun, Engkau suka mengampuni, maka ampunilah
saya)." (HR. Ahmad no. 24215)
Penutup
Lailatu-l-qodr
merupakan hadiah dari Allah swt untuk umat Nabi saw. Malam tersebut merupakan
jawaban dari doa dan pengharapan sang Nabi. Menjadikannya ajang mendekatkan
diri sedekat-dekatnya kepada Allah swt menjadi salah satu tujuan dari perintah
nabi agar umat senantiasa memburunya. Alangkah merugi seorang muslim yang
secara sadar meninggalkan lailatu-l-qodr, sekedar membiarkannya berlalu
begitu saja.
Tidak ada satu orang pun yang mengetahui
secara pasti kapan lailatu-l-qodr ini terjadi. Meski begitu, Nabi saw telah
memberikan isyarat melalui berbagai hadis, yang jika dikumpulkan semua hadis
tentang Lailatu-l-Qodr, maka kesimpulannya adalah memburunya di sepuluh akhir
bulan Ramadhan. Hikmahnya agar umat Islam senatiasa mau menyediakan waktu
khusus untuk bermunajat kepada Allah swt, mendekatkan diri sedekat-dekatnya
dengan sepuluh hari tersebut. Wallahu A’lam.
[3] Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan
[6] Ali Ash-Shabuni, h. 585
[7] Ibid,.
[8] Shahih Muslim 2009: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah
bin Sa'id dan Abu Kamil Al Jahdari keduanya dari Abdul Wahid bin Ziyad -
Qutaibah berkata- Telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid dari Al Hasan bin
Ubaidullah ia berkata, saya mendengar Ibrahim berkata; saya mendengar Al Aswad
bin Yazid berkata, Aisyah berkata; "Pada sepuluh terakhir bulan Ramadlan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lebih giat beribadah melebihi hari-hari
selainnya."