Teori Batas Dalam Ayat-Ayat Hukum Muhammad Syahrur


Oleh: Cecep Supriadi

Allah swt memerintahkan setiap hamba-Nya untuk menjalankan syariah yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. Syariah adalah hukum yang diwahyukan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah, tidak berubah, dan bersifat umum. Berbeda dengan fiqih yang dapat menyesuaikan dengan zaman, namun tetap dengan kaidah-kaidah perumusannnya. Syariah berlaku sepanjang zaman dimulai sejak diturunkannya sampai akhir kehidupan. Juga merupakan pijakan seseorang dalam beramal, bertindak, menentukan tujuan hidup, berpolitik, dan menentukan hukum-hukum yang baru sesuai dengan kebutuhun dan realitas yang terjadi.

Kebutuhan berpijak pada syariah Islam tidak hanya dilakukan oleh para mujtahid terdahulu yang telah berhasil menjawab tantangan kehidupan yang dibutuhkan saat itu. Keberadaan buah pemikiran dari pengolahan data-data yang terdapat dalam nash dan dikorelasikan dengan realita masih terus dipertahankan hingga saat ini. Semuanya terdokumentasikan dalam kitab-kitab yang telah teruji keotentikannya. Kitab-kitab ini terus dikaji, dipelajari, dan dikembangkan serta disesuaikan kembali dengan kondisi yang terjadi.

Namun, dalam beberapa dasawarsa kebelakang, terjadi pergolakan pemikiran sebagian sarjana muslim di beberapa daerah timur tengah yang mencoba merumuskan sebuah konsep metodologi baru dalam memahami nash yang berbeda. Mereka berusaha keluar dari konsep yang telah baku dan disepakati hampir seluruh ulama dunia. Dilatarbelakangi konflik internal perpolitikan di negaranya, mereka mencoba menawarkan ide pemikirannya tersebut. Dan memaksakannya agar dapat diterapkan dalam kehidupan. Seperti Muhammad Syahrur dari Syiria misalnya, yang berusaha mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi terma-terma dan konsep keagamaan yang telah mapan menjadi mainstream pemahaman, pemikiran, bahkan keyakinan mayoritas Islam. Dia menggagas teori batas (nazhriyatul hudud) dalam memahami ayat-ayat hukum.

Teori batas yang digambarkannya semisal: perintah Tuhan yang diungkapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah mengatur ketentuan-ketentuan yang merupakan batas terendah dan batas tertinggi bagi seluruh perbuatan manusia. Batas terendah mewakili ketetapan hukum minimum dalam sebuah kasus hukum, dan batas tertinggi mewakili batas maksimumnya. Tidak ada suatu bentuk hukum yang lebih rendah dari batas minimum atau lebih tinggi dari batas maksimum. Ketika batas-batas ini di jadikan panduan, kepastian hukum akan terjamin sesuai dengan ukuran kesalahan yang dilakukan.


Syahrur mengklasifikasikan teorinya menjadi enam bagian. Pertama, batasan minimum ketika ia berdiri sendiri. Contoh batasan ini adalah QS an-Nisa 23 tentang larangan al-Qur’an untuk mengawini pada perempuan yang sedarah. Menikah dengan anggota keluarga yang termasuk kategori hubungan darah dilarang, yang diperbolehkan adalah dengan menikah dengan kerabat lain di luar dari yang disebut dalam ayat tersebut.

Kedua, batasan maksimum yang berdiri sendiri. Contoh batasan ini adalah QS. Al-Maidah: 38 tentang hukuman yang ditentukan mewakili batasan maksimum yang tidak boleh dilampaui. Dalam ayat ini terkandung hukum maksimal, dimana seorang pencuri tidak boleh dihukum lebih berat dari potong tangan. Tetapi boleh dihukum lebih ringan darinya sesuai dengan keadaan dan keputusan pengadilan. Penerapan seperti ini pernah dilakukan oleh Umar ketika dia melarang pemotongan tangan bagi pencuri pada musim penceklik.


Ketiga, batasan minimum dan maksimum ketika keduanya berhubungan. Contoh surat an-Nisa 11 yang berhubungan dengan warisan. Dimana disebutkan laki-laki mendapatkan satu bagian sedangkan perempuan setengah dari bagian laki-laki atau jika di desimalkan laki-laki mendapatkan 66,6% sedangkan perempuan 33,3%. Bagi Syahrur bagian 66,3% bagi laki-laki merupakan batasan maksimal yang tidak boleh lebih dari ketentuan itu. Sedangkan bagian 33,3% bagi perempuan merupakan batas minimal, dimana mereka boleh menerima warisan lebih banyak dari itu tetapi tidak boleh melebihi 66,6 %. Menurutnya ketentuan warisan ini disesuaikan dengan hukum adat yang berlaku, selama hukum adat itu tidak melebihi batas minimal dan maksimal.


Keempat, batasan perpaduan antara batasan-batasan maksimum dan minimum. Contohnya adalah ayat tentang dera bagi pezina laki-laki dan perempuan (Q.S. al-Nur: 2). Dalam kasus zina ini Allah telah memberikan petunjuk yang sangat jelas bahwa dalam hukum zina, hukumanya adalah 100 kali dera, yang ini adalah batasan maksimal sekaligus minimal, dilukiskan dengan redaksi ayat “ wa-la ta’khudkum bihima ra’fatun fi dinillah”. Dalam redaksi tersebut, secara jelas tersebutkan agar tidak memperingan hukuman.


Kelima, diperbolehkannya gerakan penentuan hukum di antara batasan maksimum dan minimum. Contohnya adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Keenam, batas maksimum “positif” tidak boleh dilewati dan batas minimal “negatif” boleh dilewati. Batas ini berlaku pada hubungan peralihan kekayaan antar manusia. Dua batas ini terdiri dari batas maksimal yang tidak boleh dilanggar, yaitu riba dan batas minimal berupa zakat yang boleh dilampaui. Di tengah dua batas yang positif dan negatif ini ada titik netral atau dilambangkan dengan nol. Contoh dalam batas ini adalah masalah riba. Bagi Syahrur masalah riba ini tidak selamanya haram seperti yang dipahami oleh sebagian besar kaum muslimin saat ini. Riba dibolehkan ketika riba itu disalurkan pada golangan yang pendapatannya 50% ke atas, atau para pengusaha. Riba baru haram ketika riba itu diterapkan pada golangan yang pendapatannya 50 % kebawah. Bagi golongan bawah ini mereka berhak menerima zakat atau pinjaman tampa bunga. Perlu di tegaskan sebelumnya bahwa Syahrur cendrung menyamakan riba dengan bunga bank atau tambahan dari pinjaman asal. Dalam masalah riba ini lebih dari selusin ayat al-Qur’an dipaparkannya. Misalnya dalam (Q.S. al-Baqarah: 275 – 280, Ali-Imran 131-132, al-Nisa 161. al-Rum: 39).


Buah pemikiran Syahrur ini sempat menggemparkan dunia Islam saat itu. Para ulama yang berpegang teguh pada al-Qur’an, Sunnah, ijma, dan dalail ijtihadiyah menolak gagasan ini. Sedangkan para orientalis menyambut gembira dan memberikan respon yang sangat positif. Bahkan menempatkan Syahrur sampai di tingkat cendekiawan muslim. Dan disejajarkan dengan para cendekiawan muslim pendahulunya.

Di Indonesia, gagasan ini dikembangkan kembali oleh para aktivis liberal dengan maksud mendekonstruksi syariah dan membuatnya sesuai dengan pemikiran mereka. Jelas ini sangat berbahaya dan sangat besar pengaruhnya terhadap keberlangsungan kehidupan ber-Islam masyarakat Indonesia. Wallahu A’lam
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Cecep Supriadi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger