Featured Post Today
print this page
Latest Post

Kritik Bahasa Al-Qur'an Arthur Jeffrey


Oleh: Cecep Supriadi
      
Pendahuluan
Berbicara mengenai orientalisme, tentu tidak lepas dari kajian terhadap pandangan Barat mengenai ketimuran. Suatu hal yang pasti, adalah setiap kajian yang dilakukan tentu tidak pernah lepas dari sebuah tujuan. Sama halnya dengan para orientalis, mereka tidak pernah bisa lepas dari tujuan awal yang akan dicapai.[1] Sebenarnya pemikiran orientalis telah lama mempengaruhi pemikiran dunia secara global, tak luput di antaranya adalah para islamisis, maupun para pemikir atau cendekiawan muslim sendiri. Pengaruh pemikiran barat telah merambah keseluruh aspek kehidupan, kebudayaan dan bahkan peradaban Timur.
Khusus kajian orientalis terhadap ke-Islaman sendiri, sudah jauh merambah dibanding apa yang dilakukan oleh ulama Islam sendiri yang lebih menyibukkan diri pada perdebatan fiqih, hukum, theologi yang tak jarang saling mengkafirkan. Sehingga para orientalis telah jauh lebih mendalami berbagai aspek Islam, mulai dari kajian al-Qur’an, tafsir, sunnah Nabi, dan bahkan sejarah teks itu sendiri. Sehingga tak jarang hasil kajian mereka membuat umat muslim merasa tidak nyaman dan bahkan geram. Salah satu penelitian orientalis yang banyak membuat dunia Islam geger, khususnya dunia akademik Islam adalah hasil pemikiran pencarian panjang seorang tokoh orientalis dari Australia, Arthur Jeffrey.
Arthur Jeffrey adalah seorang orientalis yang banyak mengkaji Islam dari segi kritik al-Qur'an, dan tak kalah hebohnya tanggapannya terhadap Nabi Muhammad. Salah satu kritikannya terhadap al-Qur’an adalah kritik bahasa Arab al-Qur’an.[2]
Sebagaimana yang umumnya diketahui, bahasa Al-Qur’an termasuk kemukjizatan al-Qur’an itu sendiri.[3] Pengkajian dan kritik Arthur berupaya merontokkan kemukjizatan bahasa al-Qur’an. Berdasarkan hal ini, mengenal dan mengetahui Arthur dan usahanya dalam mengkritisi al-Qur’an perlu dipelajari, terutama kritiknya terhadap bahasa al-Qur’an.

Pembahasan
Biografi Arthur Jeffrey
Arthur Jeffery lahir di Melbourne 18 Oktober 1892 dalam keluarga Kristen Metodis.[4] Ia menyelesaikan pendidikan S1 (1918) dan S2 (1920) di Universitas Melbourne, kemudian pergi ke Madras dan mengajar di Akademi Kristen Madras (Madras Christian College). Di akademi inilah ia bertemu Pendeta Edward Sell (1839-1932), seorang dosen yang sekaligus seorang missionaries yang jauh lebih senior. Dialah yang menjadi pemicu Jeffery untuk mengkaji historisitas al-Qur’an.[5]
Pendeta Edward Sell seorang tokoh missionaries terkemuka di India. Ia pembicara penting pada “Konferensi Umum Kedua Tentang Misi Untuk Kaum Muslimin” (The Second General Conference on Mission to Moslems) yang diadakan di Lucknow pada tahun 1911. Konferensi Lucknow tersebut menghasilkan agenda-agenda diantaranya mendirikan berbagai proyek pendidikan seperti Newman School of Mission di Yerussalem, The Henry Martyn School di India dan The School of Oriental Studies di Universitas Amerika, Kairo.[6] 
Pendekatan Sell memiliki hasrat supaya para missionaries mulai mengkaji historisitas al-Qur’an. Menurutnya, metode studi kritis Bibel juga perlu diterapkan dalam studi kritis al-Qur’an. Ia sendiri telah memberi contoh bagaimana hal tersebut bisa diterapkan, sebagaiman tertulis dalam bukunya Historical Development of the Qur’an, yang diterbitkan pada tahun 1909 di Madras, India.
Jeffery mengakui, bahwa Pendeta Sell adalah yang pertama kali memberikan inspirasi untuk mengkaji historisitas al-Qur’an. Sekalipun begitu, Jeffery berpendapat bahwa gagasan Sell bukanlah orisinil. Karya Sell merupakan ringkasan dan penyederhanaan dari karya Theodor Noldeke (1836-1930), Geschichte de Qorans (Sejarah al-Qur’an).[7]
Hanya setahun Jeffrey mengajar di Madras. Ia mendapat tawaran dari Dr. Charles R. Watson, Presiden pertama American University, Kairo, untuk menjabat sebagai staf di fakultas School of Oriental Studies (S.O.S). Pada tahun 1921, Jeffery berangkat ke Kairo dan menjadi staf junior di Fakultas School of Oriental Studies. Di sana banayak berkumpul para misionaris bertaraf internasional seperti Earl E. Elder, William Henry Temple Graidner dan Samuel Marinus Zwemer, pendiri Konferensi Umum Misionaris Kristen sekaligus pendiri jurnal The Muslim World.[8]
Berada bersama para misionaris dan orientalis termuka dunia, fikiran Jeffery pun tidak jauh dengan mereka. Mengenai sirah Rasulullah saw, Jeffery misalnya berpendapat bahwa “Mohammed” adalah seorang kepala perampok (a robber chief), politikus (a politician) dan opportunis (an opportunist). Menurut Jeffery, untuk mengatakan bahwa “Mohammed” adalah utusan Allah masih perlu pembuktian. Pendapat seperti ini, lanjut Jeffery, sudah disimpulkan sebelumnya oleh Leone Caetani (m. 1935), Christiaan Snouck Hurgronje (m.1936), Henri Lammens (m. 1937), dan D.S. Margoliouth (m. 1940).
Jeffery banyak sekali menuangkan gagasannya dalam Jurnal The Muslim World. Ia menulis untuk pertama kalinya dalam jurnal tersebut mengenai Eclecticism in Islam (1922). Pada tahun 1923, Jeffery menyelesaikan masa bujangannya dengan mengawini Elsie Gordon Walker, sekretaris bosnya, Dr. Charles R. Watson. Pada tahun 1929, Jeffery mendapat gelar Doktor dari Universitas Edinburgh dengan anugerah yang sangat istimewa (with special honors).[9]
Pada tahun 1938, Jeffery mendapat anugerah gelar Doktor dalam kesusastraan (D.Litt) dengan prestasi summa cum laude dari Edinburg University. Pada tahun yang sama, Jeffery meninggalkan Universitas Amerika di Kairo menuju Universitas Columbia di Amerika Serikat. Dalam pandangan John S. Badeau, salah seorang koleganya, kepergian Jeffery dari School of Oriental Studies merupakan kehilangan besar. Memang Jeffery memiliki beberapa kelebihan dibanding koleganya. Salah satunya, misalnya, adalah penguasaan terhadap ragam bahasa. Selain bahasa ibunya, ia menguasai 19 bahasa. Disebabkan kemampuannya, semasa di Universita Columbia, Jeffery menjabat sebagai Guru Besar di Fakultas Near Eastern and Middle East Language. Ia juga mengetuai bidang Sejarah Agama-agama untuk program doctor di Fakultas agama. Bidang tersebut merupakan program kerjasama Komite Persatuan Seminari Teologis (Union Theological Seninary) New York dan Universitas Columbia.
Pada tahun 1953-1954, Jeffery menjabat sebagai Direktur Tahunan Pusat Penelitian Amerika (Annual Director of the American Research Centre), Mesir. Ketika menjabat posisi tersebut, Jeffery mengedit Muqaddimataani fi Uluumi al-Qur’an wa humaa Muqoddimah Kitab al-Mabaani wa Muqoddimah Ibnu Atiyyah  (Dua Muqoddimah Ulumul Qur’an: Muqoddimah Kitab al-Mabaani dan Muqoddimah Ibnu Atiyyah) yang diterbitkan di Kairo pada tahun 1954.
Keseriusan Jeffery mengkaji al-Qur’an terus dilakukan dengan konsisten sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1957, terbitlah buku Jeffery berjudul The Koran, Selected Suras: Translated from the Arabic. Dalam buku ini Jeffery menerjemahkan 64 surah al-Qur’an dan memberi catatan-catatan. Dalam terjemahannya, Jeffery menyusun sendiri urutan-urutan surah-surah yang menggambarkan keyakinannya tentang susunan surah al-Qur’an yang sebenarnya. Jeffery tidak menganggap al-Fatihah sebagai bagian dari al-Qur’an. Bagi Jeffery, surah kedua bukan al-Baqarah, tetapi al-Alaq, Surah ketiga bukan Ali Imron, tetapi al-Mudaththir. Susunan surat yang mirip itu sudah dilakukan sebelumnya oleh para orientalislain seperti Theodor Noldeke, Friederich Schwally, Edward Sell, Richard Bell dan Regis Blachere.[10]
Jeffery meninggal di Milford Selatan (South Milford), Kanada pada tanggal 2 Agustus 1959. Ia dimakamkan di Perkuburan Woodlawn, pinggiran Annapolis Royal di Lequille, Kanada. Kepergiannya meninggalkan perasaan duka yang sangat mendalam bagi kawan-kawan dan murid-muridnya. Awal Januari tahun 1960, Jurnal The Muslim World memuat tulisan ringkas dari para sahabatnya yang memuji kepribadian dan intelektualnya. John S. Badeau menggambarkan Jeffery, sebagai seorang pendeta Gereja Metodis yang sangat kuat keagamaannya. Bahkan kajiannya pada Islam sangat diwarnai dengan ke-kristenan-nya.[11]

Kritiknya Terhadap Bahasa Al-Qur’an
Jeffery mulai menggeluti gagasan kritis-historis al-Qur’an sejak tahun 1926. Ia menghimpun segala jenis berbagai varian tekstual yang bisa didapatkan dari berbagai sumber seperti buku-buku tafsir, hadits, kamus, qiro’ah, karya-karya filologis dan manuskrip. Semua ini dilakukannya untuk merealisasikan gagasan ambisiusnya yaitu, membuat al-Qur’an Edisi Kritis (a critical edition of the Koran).
Dalam fikiran Jeffery, gagasan ambisius ini bisa direalisasikan dengan dua hal. Pertama, menampilkan hadits-hadits mengenai teks al-Qur’an. Kedua, menghimpun dan menyusun segala informasi yang tersebar di dalam seluruh kesusastraan Arab, yang berkaitan dengan varian bacaan (varratio lection) yang resmi dan tidak resmi tentang kritis-historis al-Qur’an.
Untuk mewujud gagasan ambisius itu, Jeffery menggalang kerjasama dengan Professor Gotthelf Bergstrasser. Mereka berangan-angan dapat memuat terobosan baru dalam studi sejarah teks al-Qur’an. Caranya dengan bekerja keras menghimpun segala informasi dan sumber yang ada mengenai al-Qur’an. Akan tetapi, usaha mereka buyar karena segala bahan yang telah mereka kumpulkan di Munich sehingga mencapai 40.000 naskah, musnah terkena bom tentara sekutu pada Perang Dunia II. Meratapi peristiwa yang sangat kelam ini, Jeffery mengatakan : “Seluruh tugas kolosal harus dimulai lagi dari awal. Jadi, amat sangat diragukan jika generasi kita akan melihat kesempurnaan teks al-Qur’an edisi kritis yang sebenarnya.”[12]
Dalam mengkritik al-Qur’an, Jeffery mengklaim bahwa tafsir Al-Qur’an yang sudah ada tidak kritis dan belum memuaskan karena tidak memuat pengaruh bahasa asing. Dalam pandangan Jeffery, Al-Qur’an terpengaruh berbagai bahasa asing seperti Ethiopia, Aramaik, Ibrani, Syriak, Yunani kono, Persia, dan bahasa lainnya. Jadi, kosa kata yang ada di dalam Al- Qur’an mengambil istilah-istilah dari Yahudi, Kristen dan budaya lain. Jika pengaruh kosa kata asing di dalam Al-Qur’an bisa dieksplorasi, Jeffery berharap maka kamus Al-Qur’an yang memuat sumber-sumber filologis, epigrafi, dan analisa teks akan bisa diwujudkan. Kamus tersebut akan digunakan untuk meneliti secara menyeluruh kosa kata Al-Qur’an. Dalam benak Jeffery, kamus Al-Qur’an tersebut bisa dibandingkan dengan kamus (Worterbuch) ynag sudah digunakan untuk Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Kajian Jeffery mengenai pengaruh kosa kata asing di dalam Al-Quran diterbikan pada tahun 1938, dengan judul The ForeignVocabulary of the Qur’an (kosa kata asing Al-Qur’an). Di dalam karya tersebut, Jeffery membahas sekitar 275 kata di dalam Al-Qur’an yang dia anggap berasal dari kosa kata asing.
Salah satu tujuan yang ingin ditonjolkan oleh Jeffery dengan menggunakan pendekatan filologis terhadap Al-Qur’an adalah untuk menyimpulkan bahwa kosa kata dan isi ajaran Al-Qur’an diambil dari tradisi kitab suci yahudi, Kristen, dan budaya lain. Muhammad meminjam, mengubah, dan menggunakan istilah-istilah asing tersebut untuk disesuaikan dengan kepentingannya.
Analisa filologis Jeffery membuka jalan bagi Ephraem Malki, seorang fanatic Kristen Ortodoks Syiria, berasal dari Lebanon, namun berwarganegaraan Jerman, yang menggunkan nama samaran Christoph Luxenberg. Luxenberg menggunakan kajian filologis mendekonstruksi otentisitas Mushaf ‘Uthman. Ia berpendapat bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Syiria-Aramik. Bukan bahasa Arab. Ia mengklaim bahwa Al-Qur’an hanya bisa dimengerti lebih baik dan lebih akurat kalau dibaca sesuai dengan bahasa asalnya, yaitu Syiria-Aramik, sebagaimana terungkap dalam bukunya yang berjudul “Cara membaca Al-Qur’an dengan bahasa Syria-Aramik: Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa Al- Qur’an (Die syro-aramaeische lesart desw Koran:Ein Beitrag zur Entschbluesselung der Koranprache).
Asumsi Jeffery dan para orientalis itu keliru karena menganggap tidak ada yang baru didalam Al-Qur’an. Persamaan kosa kata Al-Qur’an dengan bahasa lain tidak mengharuskan bahwa Al-Qur’an terpengaruh dengan bahasa-bahasa lain. Islam membawa makna baru karena justru mengkritik ajaran Yahudi dan Kristen yang telah terdistrosi. Islam menyempurnakan kekurangan dan kesalahan yang ada di dalam agama tersebut. Jadi, sejumlah kosa kata asing beserta ajaran mengenai agama Yahudi dan Kristen telah di-Islam-kan, dalam artian telah diisi dengan makna dan ajaran baru dari Islam. Nampaknya, para orientalis ingin mengembalikan makna di dalam Al-Qur’an kepada ajaran Yahudi-Kristen. Disini jelas bahwa asumsi mereka salah atau mereka mempunyai kepentingan disebalik asumsi mereka itu.[13]
Bahasa Arab Al-Qur’an adalah bahasa Arab dalam bentuk baru. Sekalipun kata-kata yang sama di dalam Al-Qur’an telah digunakan pada zaman sebelum Islam, kata-kata tersebut tidak berarti memiliki peran dan konsep yang sama. Al-Qur’an telah mengislamkan struktur-struktur konseptual, bidang-bidang semantic dan kosa kata – khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci yang digunakan untuk memproyeksikan pandangan hidup islam. kata penghormatan (muruwwah) dan kemuliaan (karamah) sudah ada sebelum islam kata-kata tersebut sangat terkait dengan memiliki banyak anak, harta, dan karakter yang merefleksikan kelakian Al-Qur’an merubah semua ini dengan sangat mendasar dengan memperkenalkan faktor kunci, ketakwaan (taqwq). Al-Qur’an menyebutkan; “Sesungguhnya ynag paling Mulia di sisi Tuhan-mu adalah orang yang paling bertakwa”. Selain itu, orang-orang arab sebelum islam tidak pernah menghubungkan kemuliaan dengan buku-buku, kata-kata (words or speech), sekalipun mereka sangat menghargai kemampuan mengarang dan membaca puisi. Al- Qur’an menghasilkan perubahan semantic yang dasar ketika kemuliaan diasosiasikan dengan kitab suci Al-Qur’an; kitab karim, atau dengan perkataan yang baik kepada orang tua (qawl karim). Contoh lain terjadi juga pada kata persaudaraan (ikhwah), yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan, yang terkait dengan darah, dan tidak merujuk kepada makna lain. Al- Qur’an lagi-lagi mengubah ini dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi dari pada pesaudaraan darah.[14]
Sebagai contoh lain, kata Allah sudah ada sebelum Islam datang. Ayahanda Rasulullah saw bernama’Abdullah. Namun ketika Islam mengenalkan Allah, makna kata tersebut bertentangan dengan makna kata Allah sebelum Islam datang. kata Allah, setelah datangnya Islam, telah mengalami perubahan makna yang sangat fundamental. Mengembalikan makna kata Allah kepada zaman sebelum Islam, bisa berarti kemusyrikan.

Kesimpulan
Jeffrey adalah orientalis yang produktif dalam studi Islam, khususnya mengenai sejarah al-Qur’an dan teksnya. Jika dilihat dari beberapa karyanya mengenai Islam, Jeffrey termasuk orang yang mencoba mengkritik Islam secara ilmiah, namun sepertinya keilmiahannya tersebut lebih condong pada keinginan untuk mencari-cari dan atau mencoba membangun membuat kelemahan dalam teks al-Qur’an yang disucikan oleh umat muslim.
Di balik itu semua, Jeffrey adalah orang yang menyebabkan beberapa ulama Islam menjadi termotivasi untuk menandingi penelitiannya terhadap keotentikan al-Qur’an. Selain itu, Jeffrey juga sebenarnya tidak hanya mengkritik al-Qur’an, namun juga ia dengan cermat mengkritisi beberapa kitab suci agama lainnya. Oleh sebab itu, menurutnya al-Qur’an sebagai agama termuda juga tidak menutup kemungkinan untuk dikritisi, baik dari segi sejarah maupun teksnya sendiri. Oleh sebab itu, dalam hal ini, Jeffrey juga sangat berperan untuk memberikan dan menginformasikan data tambahan mengenai al-Qur’an.



[1] Mazin bin Shalah Mathbaqani, profesor di bidang orientalis di Universitas al-Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah membagi tujuan orientalis yaitu: tujaun agama, tujuan ilmiyah, tujuan ekonomi dan perdagangan, tujuan politik atau penjajahan, serta tujuan peradaban.  Lihat dalam Mazin bin Shalah Matbaqani, al-Istisyraq, (tth:tt), Hal. 6-9.
[2] Selengkapnya bisa dilihat dalam Arthur Jeffrey, “The Quest of the Historical Muhammad.” Dalam The Muslim World, vol. 16: 1926, Hal. 327-482.
[3] Ada tiga aspek utama kemukjizatan al-Qur’an. Pertama, segi keindahan dan ketelitain bahasa. Kedua, aspek isyarat ilmiyah, dan ketiga aspek pemberitaan ghaib. Lihat ... M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an: Ditinjau dari Apek Kebahasaan, Isyarat Ilmiyah, dan Peringatan Gaib (Bandung: Mizan, 2006) Hal. 114
[4] Methodis adalah yang mengikuti garis teologi yang dikembangkan oleh John Wesley yang mengikuti pandangan Arminian (Jacobus Arminius) dalam hal Urutan Proses Keselamatan (Ordo Salutis). Oleh pihak Calvinis, Arminian sering secara sengaja ataupun tidak sengaja dituduh sebagai pengikut Pelagius yang ditentang habis-habisan oleh Augustinus dari Hippo. Pelagius mengatakan bahwa manusia memilikikehendak bebas, artinya manusia mampu menentukan sendiri keputusan-keputusan yang diambilnya, sementara Augustinus mengatakan bahwa manusia tidak mampu mengambil keputusannya sendiri, melainkan hanya berdasarkan karunia Allah semata. Pelagius juga berpendapat bahwa setelah jatuh dalam dosa, manusia masih cenderung baik dan bisa menyelamatkan diri dengan perbuatan baik. Arminius (dan Wesley) berbeda dengan Pelagius karena mereka berpendapat bahwa setelah Kejatuhan, manusia cenderung berdosa dan hanya bisa diselamatkan karena karunia Allah semata. Lihat... http://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Metodis diunduh pada 18/12/2014 pkl. 05:30 wib.
[5] Adnin Armas, “Arthur Jeffery: Orientalis Penyusun al-Qur’an Edisi Kritis”, Majalah Islamia, Vol III No.1, 2006, Hal 73.
[6] Ibid,. Hal. 74, dikutip dalam... J. Christy Wilson, “The Epic of Samuel Zwemer”, The Muslim World, 57 (1967), No.2, Hal. 87
[7] Ibid,. Hal. 74; dikutip dalam... Arthur Jeffery, “The Quest of The Historical Mohammed”, The Muslim World 16 (1926), Hal 330.
[8] Ibid. Hal. 75
[9] Arthur Jeffery, “Christian at Mecca”, The Muslim World 19 (1929), Hal. 235
[10] Ibid., Hal. 76
[11] Ibid., Hal. 77; John S. Badeau, “Arthur Jeffery – A Tribute,” The Muslim World 50 (1960), Hal. 96
[12] Adnin Armas, “Kritik Arthur Jeffery Terhadap al-Qur’an,” Majalah Islamia, tahun I No.2/Juni-Agustus 2004, Hal 8
[13] Ibid., Hal. 10
[14] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of The Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), Hal. 318
3 komentar

Kedudukan Akal dalam Memahami Tuhan



Oleh: Cecep Supriadi

Akhir-akhir ini penggunaan akal dalam memahami Tuhan semakin tidak sesuai dengan porsinya. Penggunaan akan secara berlebihan dapat menyebabkan seseorang tidak beragama / atheis. Salah satunya, Friedrich Wilhelm Nietzsche, dia mencari-cari Tuhan itu, memikirkannya, mengakalinya, sehingga sampailah pada kesimpulan bahwa Tuhan telah mati dan dialah yang telah membunuh Tuhan[1]. Namun, adapula yang berhasil meyakini keberadaan Tuhan. Diantaranya, Michael David Shapiro memeluk Islam setelah melakukan kajian soal agama-agama. Awalnya dia penganut ateis. Tapi ia berhasil membuktikan bahwa agama tidak sekadar mematuhi ajaran dan segala perintah-perintah yang suci[2]. Jika diperhatikan, mereka yang berhasil menemukan Tuhan, bukan murni dari akalnya sendiri, tetapi dibantu dari informasi yang didapatkan dari wahyu. Oleh karenanya, akal tidak bisa dilepas begitu saja, tanpa bimbingan wahyu.

Meski demikian, akal memiliki peranan penting dalam memahami dan meyakini keberadaan Tuhan. Ini didasari bahwa akal adalah kekuatan otak untuk mempertimbangkan sesuatu yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia sebagai alat berfikir[3]. Selain itu, menurut Syed Naquib Al-Attas dalam Islam dan Filsafat Sains, “akal adalah suatu substansi ruhaniah yang melekat dalam organ ruhaniah yang kita sebut hati atau kalbu“[4]. Oleh sebab itu, fungsi akal untuk mengenal Tuhan tidak bisa dinafikan. Quraish Syihab menjelaskan dalam bukunya Logika Agama:

“Aqal adalah potensi manusiawi yang berfungsi sebagai tali pengikat yang menghalanginya terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Akal semacam itulah yang menjadi tujuan dan yang harus diusahakan untuk meraihnya, karena yang demikian itulah yang menyelamatkan seseorang. Tanpa akal, siapapun akan terjerumus walau memiliki pengetahuan teoritis yang sangat dalam”[5].


Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa akal memiliki beberapa fungsi. Pertama, dapat mengetahui Tuhan yang abstrak. Tuhan salah satu yang ghaib, tidak nampak dilihat. Akal melakukan pembacaan terhadap tanda-tanda keberadaan Tuhan, baik melalui penciptaan maupun wahyu. Kedua, dapat melihat fenomena sekitar dan memberikan kesimpulan dari apa yang dilihat. Fenomena alam yang terjadi bisa dijadikan bukti atas eksistensi Tuhan dalam kehidupan ini. Ketiga, dapat mengetahui sifat-sifat Tuhan. Akal mampu menerima ke-Maha Kuasaan Tuhan terhadap alam semesta. Ke-Maha Pengasih dan Penyayang terhadap makhluk ciptaan-Nya[6].

Namun, akalpun memiliki keterbatasan dalam berfikir. Akal tidak mampu memasuki wilayah pemikiran di luar kemampuan masing-masing[7]. Akal tidak mampu mengetahui hal-hal ghaib, seperti adanya surga dan neraka, adanya hari akhir, dan adanya kebangkitan setelah kematian[8]. Ini artinya, akal tidak mampu memahami Tuhan secara utuh[9]. Akal tidak tahu cara tepatnya untuk menyatakan terima kasih kepada Tuhan[10]. Namun demikian, Franz Magnis Suseno dalam Menalar Tuhan menyatakan bahwa “percaya pada eksistensi Tuhan sangat masuk akal karena banyak kenyataan alam luar maupun alam batin dapat dimengerti dengan jauh lebih apabila kita menerima adanya Tuhan”[11].

Al-Qur’an memberikan kedudukan yang tinggi terhadap akal. Yusuf Qardhawi mengungkapkan bahwa materi akal dalam al-Qur’an terulang sebanyak 49 kali[12]. Al-Qur’an juga memerintahkan akal untuk memahami ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah. Bahkan, Para ulama menggunakan akal sebagai alat melakukan ijtihad, maka dapat dikatakan bahwa sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an, Hadis, dan Akal[13]. Dengan akal pula, kita bisa menjalankan kewajiban syariat dengan baik dan benar berdasarkan dari wahyu[14].

Adapun kata wahyu yang menurut bahasa berarti suara, bisikan, isyarat, yang merupakan pemberitahuan tersembunyi, rahasia, dan selintas kilat. Tetapi secara syar’i, wahyu didefinisikan sebagai perkataan Allah yang disampaikan kepada rasul-Nya. Dalam Islam, wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw terkumpul dalam al-Qur’an[15].

Jika dikaitkan dengan akal, Wahyu dapat menjadi petunjuk dan penyempurna akal yang memiliki beberapa fungsi. Pertama, akal mampu membuktikan keberadaan Tuhan melalui tanda-tanda penciptaan. Wahyu memperkuat apa yang telah diketahui akal. Kedua, Akal mengetahui eksistensi Tuhan, beserta anugerah pemberian-Nya, namun akal tidak mengetahui bagaimana cara mengucapkan terima kasih pada-Nya. Wahyu menerangkan apa yang belum diketahui akal. Ketiga, akal mampu mengungkap ilmu pengetahuan dan mengembangkannya sehingga dapat memberikan peradaban dalam kehidupan. Wahyu menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal.  Keempat, akal terkadang melampaui batas kewajaran dalam berfikir. Maka wahyu mengingatkan manusia akan kelalaian mereka. Kelima, akal senantiasa terus berusaha mengenal Tuhan. Wahyu memperpendek jalan mengetahui Tuhan[16]. Seandainya wahyu tidak ada maka manusia akan bebas berbuat sesukanya. Dan untuk itulah al-Qur’an diturunkan.

Sejarah mencatat bahwa semua aliran teologi dalam Islam menggunakan akal untuk memahami eksistensi Tuhan. Mu’tazilah mengakui kemampuan akal dalam memahami Tuhan bahkan sebelum wahyu diturunkan[17]. Demikinan juga, Maturidiah Samarkand, Maturidiah Bukhara memberikan daya besar terhadap akal. Pun demikian dengan aliran Asy’ariah, walaupun dengan porsi yang kecil. Selanjutnya, Tuhan memperkenalkan diri-Nya melalui wahyu yang diturunkan kepada para nabi. Yang menjadi tuntunan dalam kehidupan, menjelaskan hal yang baik dan buruk, dan mengetahui kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan[18].

Dalam Islam, wahyu itu terkumpul dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan wahyu yang sangat rasional. Orang yang membaca dan mempelajarinya akan menangkap pesan yang sangat masuk akal. Jack Pirck dan Maxim Rodinson adalah dua tokoh orientalis yang mampu menangkap rasionalisme al-Qur’an[19]. Materi yang terkandung dalam al-Qur’an menjadi pedoman sepanjang zaman. Bukan hanya untuk umat Islam namun juga untuk seluruh manusia[20].

Dari uraian singkat diatas dapat disimpulkan bahwa akal memiliki peranan penting dalam memahami eksistensi Tuhan. Akal mampu mengungkap rahasia eksistensi Tuhan. Namun, akal memiliki keterbatasan. Untuk itulah wahyu diturunkan. Wahyu memiliki peran menyempurnakan akal dalam memahami Tuhan dan memberikan petunjuk tata cara ibadah dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan. Oleh sebab itu, keduanya tidak dapat dipisahkan dan dinafikan keberadaannya. Serta perlu disesuaikan dengan porsinya. Wallahu a’lam.


[1] Lihat... Nietzsche and The Gods, New York University Press. Hal.185.
[2] Lihat... http://www.onislam.net/english/reading-islam/my-journey-to-islam/contemporary-stories/420861-from-judaism-to-islam.html diakses pada 21/10/2014. 14.53
[3] Dyayad. Kamus Lengkap Islamologi (Yogyakarta: Qiya) Cet. Pertama. 2009. Hal 35
[4] Naquib Al-Attas, Syed Muhammad. Islam dan Filsafat Sains (Bandung: Mizan) Maret 1995 Hal 37
[5] Syihab, Quraish. Logika Agama (Jakarta: Lentera Hati) Cet. Ketiga. 2006. Hal 88
[6] Kiswati, Tsuroya. Al-Juwaini: Peletak Dasar Rasional Dalam Islam (Jakarta: Erlangga) cet 3. 2007. Hal. 168
[7] Mutawalli al-Sya’rawi, Muhammad. Meragukan Eksistensi Tuhan (Jakarta: Media Alo Indonesia) Cet.Pertama. 2005. Hal 81
[8] Kiswati, Tsuroya. Al-Juwaini: Peletak Dasar Rasional Dalam Islam (Jakarta: Erlangga) Cet.Ketiga. 2007 Hal. 164
[9] Lihat ... Kant, Tuhan tidak menjadi objek pengetahuan manusia, jadi nalar tidak dapat mengetahui apa pun tentangnya.... dalam Suseno, Franz Magnis. Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius) Cet.Kedelapan. 2006. Hal. 19
[10] Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta: UI Press) Cet Kelima. 2010. Hal 97
[11] Suseno, Franz Magnis. Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius) Cet Kedelapan. 2006. Hal. 23
[12] Qardhawi, Yusuf. Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gema Insani Press) Cet. Kelima 2001. Hal.19
[13] Muzani, Saiful. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan) Cet. Keempat. 1996. Hal 56-60
[14] Hanafi, Hasan. Dari Akidah ke Revolusi: Sikap kita terhadap Tradisi Lama.(Jakarta: Paramadina) 2003. Hal 156
[15] Haq, Hamka.  Al-Syathibi: Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat. (Jakarta: Erlangga). Cet Keenam. 2009. Hal 43
[16] Ibid. 99-101
[17] Haq, Hamka.  Al-Syathibi: Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat. (Jakarta: Erlangga). Cet Keenam. 2009. Hal 43
[18] Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta: UI Press) Cet Kelima. 2010. Hal.90-101
[19] Qardhawi, Yusuf. Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gema Insani Press) Cet. Kelima 2001. Hal.77
[20] Lihat QS Al-Baqarah Ayat 185
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)
0 komentar
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Cecep Supriadi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger